Selasa, 29 November 2011

November dengan Segala Kesialannya


       Posting ini tiba-tiba nongol dan isinya cerita sedikit tidak enak. Bercerita tentang shocking experience saya beberapa hari lalu. Pagi lalu (sebelum shocking experience itu terjadi), saya sudah merasa akan ada suatu hal (baik atau mungkin lebih ke-buruk) yang bakal menimpa saya. Pengennya sih bolos kuliah. Tapi rasanya bakal ngerasa bersalah minta ampun sama Bapak Ibu’. Berangkat juga deh akhirnya. Tapi, sebelum berangkat, saya pasang status dulu di akun Facebook saya yang isinya : “Don’t be a bad day, pleaseeeeee. . .!”
         
          Ga tau kenapa, saya ngerasa ada sesuatu yang salah (atau mungkin saya yang salah) sama bulan November ini. Buat saya, November itu adalah sebulan penuh penderitaan. Sebulan penuh kesialan. Terlalu banyak petaka yang menimpa.

         Pagi itu, kita membahas tentang Pengujian Hipotesis. Setelah memberikan materi yang belum sempat saya cerna dengan baik karena kondisi yang kurang mendukung (ngantuk + lapar), soal diberikan.
            
 Tiba-tiba nama saya dipanggil, “Kurnia Insyiani! Mana? Oke. Ayo maju!”

Allamaaaaaaaaakkkkkkkk. . . . !!!!!!!! Astagadragon!!! Itu saya!!! Kaget. Berasa ketemu dementor. Saya pucet. Mungkin jadi tampak seperti orang-orang ras mongol. Pasrah. Maju dengan gontai. Masih ga ngerti apa yang diinstruksikan. Di depan, gigitin spidol.

Yang saya tau, mengerjakan soal di bawah tekanan dan puluhan pasang mata memandang itu tidak baik. Bisa mematikan kinerja otak. Apalagi kalo yang jadi terdakwanya adalah orang-orang yang grogian. 1 + 1 bisa jadi 3. Akhirnya. . . soal berhasil dikerjakan.

Kembali ketempat duduk. Tetap dengan cengiran ga jelas. Masih sedikit shock. Rasanya seperti ngebelah atmosfir berlapis-lapis, meluncur bareng paus akrobatis, trus ngebut menuju rasi bintang paliiiiiiiiing manis (hueks!). Rasanya mual. Seperti baru saja naek rollercoaster!

Hey, November!! Terlalu banyak kejutan kurang menarik yang kamu berikan buat saya. Dan saya berharap, kamu segera berakhir. Kepada Desember, don’t be a rough month.  

Senin, 21 November 2011

Introducing "PITO" : Alasan Mengapa Saya Membencinya

Namanya Pito. Perawakannya sedikit gendut. Rambutnya hitam lebat. Sangat cool dan bertampang gahar. Dia seekor kucing =.=". Dari jenis anggora mungkin. Entahlah, saya kurang paham atau malah tidak ingin paham soal dunia perkucingan.

Pito adalah peliharaan mbak kost teman saya. di tempanya, Pito sangat dielu-elukan. Beberapa orang memanggilnya "Dek Pito". Bahkan Rani, teman saya bilang kalau Pito itu Manis Sekali. Nyaris muntah mendengarnya. Buat saya, Pito itu ga ada manis-manisnya. Kerjanya cuma mondar-mandir, maenin sepatu orang (mungkin sepatunya bau ikan asin), atau sekedar duduk di ambang pintu dengan tampang sangar. Ini dia tampangnya.
Sangar sekali kan....

Dengan aktivitas seperti itu, dimana letak kemanisannya?! Yang terbayang di pikiran saya malah Pito tampak seperti kucing bajak laut atau kucing preman. Kalau ditambah sedikit codet di pipinya mungkin bakal lebih seram lagi.

Suatu hari, saya maen-maen ke tempat kost teman saya (Rani) itu. Tau saya ga suka (baca : takut) kucing, Rani malah memasukkan Pito ke dalam kamarnya dan membiarkan saya terkunci di dalam kamar dengan seekor kucing garang itu. Panik dong.

Saya ga suka kucing. Selain karena bulunya, menurut salah satu buku, abad pertengahan mengasosiasikan kucing sebagai pertanda buruk. Kucing adalah binatang nocturnal yang eongannya kadang menyeramkan (selain menyebalkan). Kucing juga dianggap sebagai hewan peliharaan penyihir ataupun jelmaan dari penyihir itu sendiri.

Walaupun di film The Mummy menerangkan bahwa kucing bisa menyelamatkan Evelyn dari kejaran Imhotep, tapi buat saya, tetap saja kucing tetap menyeramkan. (Bukan berarti saya jelmaan Imhotep =.=")

Selasa, 15 November 2011

It's Just About "Cosmological Coincidece" :))

Masa remaja, kata orang identik dengan yang namanya percintaan. Entah benar atau tidak. Tapi, belakangan ini kuping saya mulai disibukkan oleh curhatan-curhatan (yang kadang ga masuk akal) soal kehidupan percintaan kita, para remaja.
         Ada yang katanya dideketin atau naksir kakak tingkat, baru putus, baru jadian, dapet gebetan baru temen se-fakultas (ecieeeeeee. . . .), temen sekelompok, anak fakultas tetangga, sampe temen satu kelas.
         Hmmmm. . . Bicara soal percintaan, ga bakal ada habisnya. Percaya ga percaya, ketika remaja cewek (mungkin juga cowok) melakukan kegiatan yang dinamakan nongkrong *atau apalah namanya*, 95% dari pembicaraan mereka adalah seputar lawan jenisnya.
         Sekedar review terhadap cerita sohib saya, (Haloooo. .  . mungkin kamu baca :D) sebut saja namanya Eko. Jadi ceritanya, si Eko ini naksir sama temen masa kecilnya. Tapi sayangnya, si Eko ini gak punya cukup keberanian buat ngungkapinnya. Bukan karena si Eko kurang gentle atau apa. Tapi karena si Eko sayang sama si cewek itu. Sayang kalo misalnya hubungan pertemanan mereka nantinya bakal rusak gara-gara virus yang namanya “cinto” itu nyempil-nyempil di dalamnya.
               
“Sebenernya aku tu sayang sama dia, Nia. Tapi gimana. Aku lebih takut kehilangan dia”. Kata dia dilebai-lebaikan.
“Oooo. Kehilangan gimana maksudnya?”
“Ya kehilangan. Iya kalo misalnya aku sama dia jadian, trus putus. Iya kalo putusnya baik-baik. Lha, kalo misalnya aku sama dia putus, tapi malah musuhan? Kan sayang. Dia sohibku. Sama kayak kamu”.
“Hmmmm. . . Repot juga ya, Ko. Salah kamu juga. Ngapain naksir dia. Sudah tau dia itu sohibmu. Kamu juga sadar gimana resiko kedepannya. Seharusnya, waktu rasa itu muncul sedikit, buru-buru kamu kendaliin. Kalo sudah gini, kamu galau sendiri”.
“Heh! Namanya juga cinto. Ya mana aku tau. Kan sering tu disinggung-singgung kalo yang namanya cinto itu buta dan ga tau kapan datangnya. Lagian, sepertinya dia juga ngasi harapan buat aku”.
“Heemh. Apaan. Eh, tapi kalo diliat dari gerak-geriknya, sepertinya dia juga naksir kamu deh. Trus, sekarang situ mau apa?”
“Ga tau. Aku pengen masuk UB juga nyusul dia. Biar bisa bareng. Doakan ya!”
“Hah?! Gila! ITS.mu mau kamu buang?”
“Masih ada jalur terakhir di UB. Sebagai teman yang baik, kamu harus mendoakan ya. Hha”
          
      Sampai postingan ini ditulis, saya masih ga percaya dengan teorema : CINTA ITU BUTA DAN TIDAK DAPAT DIDUGA DATANGNYA. Buktinya, saya yakin dengan pasti, masih banyak yang bisa membedakan mana Revo mana Volvo. Satu lagi, menurut buku yang saya baca, cinta itu dapat diprediksi dengan hati dan pikiran. Cinta itu bukan sesuatu yang bersifat ketunaan. Dia ga buta, juga ga tuli. (Cinta masih kuliah di luar negeri, Cinta masih ngisi acara sulap, dan juga masih tetap anaknya Uya Kuya *ga nyambung*)
Kembali ke soal Eko. Pada akhirnya, cuma harapan kosong yang Eko dapet dari cewek itu. Si cewek ternyata sudah punya pacar. Dan itu sukses membuat Eko cukup patah hati. Eko jadi semakin intens maen ke rumah, sering telpon, sering sms, buat ngebahas soal si cewek. Miris sekali rasanya. (Hey, Boy! Biarpun kamu ga nangis di depan saya, dari gayamu sudah ketauan kalo kamu itu benar-benar patah hati luar dalam)
Ternyata Eko ga nyerah sampai di situ. Dia tetap berusaha. Belajar mati-matian buat nyusul si cewek yang udah keterima duluan di UB. Katanya, “Sapa tau mereka putus sebentar lagi”.
Tapi, sekuat apapun dia berusaha, tetap saja takdirnya di ITS. Sampai sekarang, si cewek tetap langgeng adem-ayem sama pacarnya. Dan saya, cuma bisa berpesan buat ingat yang satu ini :

Masing-masing dari kita mempunyai garis kehidupan yang telah digambarkan.
Dan masing-masing dari kita, kalau diizinkan, akan saling bersinggungan.
Ga perlu “ngoyo” buat mengerjar hal-hal yang seperti itu.
Suatu saat, jika semesta mengiizinkan, kita pasti akan dipertemukan.
Ingat, COSMOLOGICAL COINCIDENCE.

Catatan :
Yang super spesial saya dedikasikan untuk . . . .
1.      1.  Eko a.k.a Yoruku. Semoga bisa cukup membantu ^.^
2.      2.  SupRan (Rz). Bagian terakhir semoga bisa jadi referensi hidup.

Rabu, 02 November 2011

I’m Sorry. But For This Time, I Hate You (Statistic Method) So Much!!!

Dalam hidup ini, niat dan semangat adalah dasar untuk mewujudkan sesuatu. Beberapa pihak,   -mungkin dengan atau tanpa kita sadari- punya andil membuat semangat kita menurun. Tanpa kekuatan dari hati dan pikiran yang jernih, keaadan seperti itu tentu sulit diatasi. Akibatnya, muncul perasaan tidak nyaman dan tertekan yang sulit sekali untuk dieliminasi.

           Saya pribadi, termasuk dalam kategori orang-orang yang gampang tertekan terutama saat ujian. Walaupun teman-teman bilang, “Kamu kayanya santai banget, Nia. Easy going sekali” . Tapi sebenarnya, itu hanya tampak luar saja. Di dalam? Sama seperti yang lain (atau mungkin lebih parah). Galau maksimal!

         Contoh nyata. Kemarin, UTS Metode Statistika. Untuk pertama kalinya saya berhadapan dengan tes mata kuliah yang sama sekali tidak saya suka (walaupun saya mahasiswa berprogram studi Statistika). Ujian kali ini membuat saya benar-benar tertekan. Soal pertama sudah cukup membuat shock. Gila! Ini soal tingkat dewa!

        Ga banyak yang bisa kerjakan. Durasi ujian yang cukup panjang membuat saya semakin tertekan. Ditambah bekerja di bawah pengawasan langsung Bu dosen. Double trouble!! Mungkin ini sebagai permulaan yang buruk atau mungkin sangat buruk. Mau pasrah, tapi geregetan liat soal. Mau kerja, tapi sudah ga kuat pengen angkat tangan. Serba bingung.

      Kadang, suasana yang terlalu tenang saat ujian malah membuat saya makin panik. Dan kegiatan yang biasa saya lakukan –dengan intensitas lebih— ketika panik adalah MENGGIGIT KUKU!! Kuku-kuku jari tangan saya sampai pendek. Soal pertama, saya lewati tanpa ada niatan mengerjakan. Soal kedua, nyaris 100% sukses (insyaallah). Soal ketiga, berhasil dilewati dengan perjuangan ekstra. Soal keempat, hanya cukup mengerjakan 1 subsoal. Kembali ke soal pertama, semakin bingung, bingung, dan bingung. Mencoba mengerjakan, ujung-ujungnya semakin jauh dari harapan dan kenyataan. Jalan terakhir, benar-benar ANGKAT TANGAN!! Saya benar-benar tidak mood mengerjakan soal. 

       I’m sorry Statistic. But for this time, I hate you so much!!!!!